Search This Blog

Thursday, March 10, 2016

JEPRETAN FOTO DI GUNUNG MERBABU DAN SEKITARNYA HEHEHE



Nih poto saat dipuncak kameranya menghadap ke arah barat yakni kearah Gunung Sundoro dan Sumbing, Keren banget deh  pokoknya... 


Ngadem sek lah, kesel tenan yen blangsakan aben dino haha


Jangan heran kalo agan kesini nemuin banyak banget jembatan, keren banget deh buat foto foto, apalagi kalo akhir pekan banyak deh muda mudi bersliweran mojok dijembatan, hahaha.... 

Pemandangan yang dapat merefresh otak, mantap banget deh kalo agan tuh mau jalan jalan menikmati indahnya alam disini, kita bisa lihat kota magelang dibarat, G Sundoro, G. Sumbing, G. Telomoyo, G. Andong, Rowo Pening dan kota Salatiga di sebelah utara, Kota Boyolali disebelah timur, G. Lawu, dan G. Merapi yang terkenal di sebelah Selatannya. 

Penampakan Gunung Merbabu yang membuat saya takjub akan keagungan Allah SWT, dan luasnya membuat laku produk balsem hehehe. (Capeknya nih kaki)
warganya yang ramah membuat saya senang dan betah berlama-lama disini, hamir semua orang jika bertemu selalu bilang "Pinarak " (Bahasa Jawa) yang artinya mampir atau mempersilahkan untuk bertamu kerumahnya.   
Bekas kawah, distruktur Merbabu, Alterasi Argilik yaitu berupa mineral argilik mengisi direkahan rekahan yang telah terbentuk.
Nih salah satu penghuni sekitar puncak Merbabu
Nih G. Andong dan telomoyo kalo agan lewat jalur pendakian wekas

Nih juga lewat jalur wekas, jalur pendakian G. Merbabu yang menurut ane paling cepet gan nyampe puncak 3,5 Jam ga pake istirahat.

inget gan, Pantangan di G. Merbabu, "JANGAN BUANG SAMPAH SEMBARANGAN"

Air Terjun Kedung Kayang di daerah Wonolelo, selatan Merbabu.

Nih orang lagi ngapain ya....?????

Udah jalan kesana kemari, Kelaperan, Tenang Banyak yang jual disini gan, kalo agan mau nyari yang irit murah dan enak, Ke Angkringan langganan ane di jalan yang mau ke arah Selo, tp kalo mau nyari ditempat laen juga banyak diarea Ketep atau keutara lagi banyak gan tapi rada mahal mahal dikit tp tergantung makannya.... hehehehe
mungkin nyampe disini dulu postingan ane, lanjut dilaen waktu karna ponakan rewel banget dari tadi. hehehehe.....



GEOLOGI DAN FASIES GUNUNG API MERBABU DI DAERAH LENCOH DAN SEKITARNYA,  KECAMATAN SELO,
KABUPATEN BOYOLALI, PROPINSI JAWA TENGAH


Sarif Hidayat, Dr. Sri Mulyaningsih,ST., M.T., Arie Noor Rakhman, ST., MT.
Teknik Geologi IST AKPRIND, Jln. Kalisahak No. 28 Yogyakarta, Indonesia

INTISARI
Daerah penelitian secara administratif terletak di daerah Lencoh dan sekitarnya, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah. Secara astronomis terletak pada koordinat 07°25’00” LS - 07°30’00” LS dan 110°22’30” BT - 110°27’30” BT pada lembar Ngablak 1408-522. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keadaan geologi daerah penelitian, yang meliputi geomorfologi, stratigrafi, geologi struktur, sejarah geologi, dan geologi lingkungannya, serta untuk mengetahui fasies gunung api pada daerah penelitian.
            Metode yang digunakan adalah dengan pemetaan geologi permukaan dan untuk pengambilan conto batuan menggunakan teknik sampling batuan yang segar sehingga dapat mewakili daerah sebenarnya di lapangan.
Daerah dibagi menjadi 3 satuan geomorfik yaitu: satuan geomorfik fasies sentral (FS), satuan geomorfik fasies proksimal (FP) dan satuan geomorfik fasies proksimal Merapi (FPM). Pola aliran daerah penelitian berupa pola radial dan paralel dengan stadia sungai muda dan stadia daerah muda. Stratigrafi mulai dari yang paling tua ke muda adalah satuan lava blocky basalt (Lbb) yang diterobos oleh satuan intrusi andesit (Ia), seumur dengan satuan lava andesit Merapi (Lam) yaitu terbentuk pada kala Pleistosen Akhir atau Holosen Awal, kemudian satuan lava basalt (Lb) dan lava andesit (La) yang terbentuk pada kala Holosen. Tatanan tektonik subduksi membentuk tepian konvergen berupa gugusan volcanic arc yang memanjang mengikuti jalur rekahan tektonik menghasilkan tubuh gunung api stratovulkano, inflasi pada Pleistosen Akhir mengakibatkan rekahan tektonik tersebut melebar, ketika erupsi berhenti (deflasi) sehingga mengakibatkan terbentuknya sesar turun Pregadalem, sesar turun Ngadirejo, sesar turun Mangu, sesar mendatar kanan Banyuroto, kemudian pada kala Holosen terjadi inflasi lagi mengikuti pola sesar turun tersebut, ketika inflasi selesai (deflasi) membentuk sesar turun Selo yang diikuti oleh sesar naik Patran, dan sesar turun Merbabu-Watutulis. Bencana alam yang sering terjadi daerah penelitian adalah longsoran, bahaya gunung api, kebakaran hutan dengan potensi geologi melingkupi bahan galian golongan C, pemanfaaatan sumberdaya tanah, pemanfaatan run off water, agrowisata, dan geowisata.

Geologi
1.    Berdasarkan pembagian fisiografis Van Bemmelen (1949), daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Quartenary Volcanoes. Pada zona ini terbentuk suatu kompleks gunung api yang memanjang berarah baratlaut-tenggara yaitu rangkaian Gunung Ungaran - Gunung Telomoyo - Gunung Merbabu - Gunung Merapi yang berada pada lingkungan geologi vulkanik kuarter. Produk dari gunung api tersebut berupa batuan piroklastik dan lava dengan komposisi andesit-basaltik.
Satuan geomorfologi daerah penelitian berdasarkan Bogie and Mackenzie, (1998) Terdiri atas: satuan geomorfik fasies sentral (FS), satuan geomorfik fasies proksimal (FP), dan satuan geomorfik fasies proksimal Merapi (FPM). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan serta interpretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan  pendekatan model pengaliran menurut klasifikasi dari Howard (1967), maka daerah penelitian termasuk dalam pola aliran radial dan paralel. Atas dasar pengelompokan stadia daerah berdasarkan Lobeck (1939), maka dapat di interpretasikan bahwa stadia daerah pada daerah penelitian berupa stadia muda
2.    Stratigrafi regional daerah penelitian menurut Thaden dkk, (1975) adalah: Satuan Gunung api Merbabu (Qme), Satuan Gunung api Merapi Muda (Qmi), Satuan Kubah Lava Gunungapi Merbabu (Qdf).
Satuan litologi pada daerah penelitian dapat dibagi menjadi 5 satuan tidak resmi, yaitu: Satuan lava blocky basalt (Lbb), satuan lava andesit Merapi (Lam), satuan intrusi andesit (Ia), satuan lava basalt (Lb), satuan lava andesit (La).
3.    Terbentuknya struktur geologi regional daerah penelitian tidak lepas dari tatanan tektonik Indonesia sejak Sub zaman Neogen, yaitu dengan adanya pergerakan antara Lempeng Hindia-Australia yang relatif bergerak ke arah utara dan menumbuk Lempeng Eurasia, sehingga membentuk sistem busur kepulauan dan jalur gunungapi aktif, serta pola-pola kelurusan. Berdasarkan letak tersebut, maka daerah penelitian termasuk dalam Zona Quartenary Volcanoes, Van Bemmelen (1949). Pada zona ini terbentuk suatu kompleks gunungapi yang memanjang berarah baratlaut-tenggara yaitu rangkaian Gunung Ungaran - Gunung Telomoyo - Gunung Merbabu - Gunung Merapi yang berada pada lingkungan geologi vulkanik kwarter.
Pada daerah penelitian terdapat dua struktur geologi yaitu struktur kekar dan struktur sesar., struktur kekar berupa kekar-kekar tarik, dan kekar-kekar gerus, sedangkan untuk sesar yang terbentuk pada daerah penelitian terdiri dari sesar- sesar turun Pregadalem, sesar turun Ngadirejo, sesar turun Mangu, sesar mendatar kanan Banyuroto, sesar turun Selo, sesar naik Patran, dan sesar turun Merbabu-Watutulis.
4.    Sejarah geologi di daerah penelitian diperkirakan dimulai pada zaman Kwarter (± 1,8 juta tahun lalu) pada kala Pleistosen Akhir - Holosen Awal, ditandai dengan pembentukan depresi vulkano-tektonik yaitu rekahan tektonik yang menghubungkan dari dapur magma ke permukaan bumi, atau yang saat ini bisa teramati baik secara langsung maupun dengan pengamatan citra satelit yaitu umumnya telah menjadi deretan tubuh gunung api stratovulkano, dimana pemebentukan gunungapinya diakibatkan oleh ekspansi volume besar magma asam ke permukaan (vulkanik) yang berasal dari zona beni off dan rangkaian vulkanik tersebut terjadi secara poligenetik sehingga material-material hasil erupsinya membangun tubuh gunung api tersebut. Zona depresi vulkano-tektonik atau suatu rangkaian gunung api bisa terbentuk karena magma berjalan keluar ke permukaan bumi melalui media rekahan yang terbentuk secara tektonisme yang berarah relatif tenggara-baratlaut, tatanan tektonisme yang memicu berupa tatanan tektonik zona subduksi antara India-Australian Plate (oceanic crust) dan Eurasian Plate. Dan dari aktifitas magmatisme yang dikontrol oleh tatanan tektonik tersebut, sehingga pada kala Pleistosen Akhir-Holosen Awal terjadilah proses awal aktifitas vulkanik Merbabu, yaitu terjadi erupsi yang menghasilkan satuan lava blocky basalt (Lbb) dan satuan intrusi andesit (Ia) yang seumur dengan lava andesit merapi (Lam). Hubungan satuan intrusi andesit dengan lava blocky basalt adalah selaras, sedangkan satuan lava andesit Merapi menjari dengan satuan lava blocky basalt, setelah aktifitas erupsi itu berakhir terjadilah deflasi yang disebabkan karena terjadi kekosongan pada dapur magma yang oleh gaya gravitasi kemudian terbentuklah sesar turun Pregadalem, sesar turun Ngadirejo, sesar turun Mangu yang bidang turunya pada lereng bawah menjadi sesar mendatar kanan Banyuroto. Lalu kemudian aktifitas magmatik dan vulkanik yang dipicu oleh aktifitas tektonik itu meningkat kembali pada kala Holosen, pada saat itu  diperkirakan terjadi 2 kali erupsi, erupsi yang pertama dibuktikan dengan dijumpainya satuan lava basal (Lb) pada lereng selatan atau sekitar Daerah Selo yang setelah erupsinya berhenti (deflasi) terjadilah sesar turun Selo yang bidang turunnya pada bagian bawah menjadi sesar naik Patran, kemudian erupsi yang kedua melalui sesar turun Pregadalem, dengan arah erupsi relatif ke utara, pada lereng Merbabu bagian utara tersebut dapat dibuktikan dengan adanya satuan Lava andesit (La) yang kemungkinan tipe erupsinya lebih ekplosif dari erupsi yang pertama, dan setelah erupsinya berhenti (deflasi) kemudian membentuk sesar turun Merbabu-Watutulis.
5.    Geologi lingkungan pada daerah penelitian berupa sesumber antara lain; run off water atau air permukaan yang terdapat sebagai aliran sungai-sungai dan aliran permukaan lainnya, yang memiliki kapasitas disamping sebagai pensuplai kebutuhan pertanian dan MCK, juga berperan sebagai agen pengerosi. Bahan galian yang terdapat di daerah penelitian adalah bahan galian golongan C yaitu bahan galian yang dapat diusahakan dan dimanfaatkan oleh manusia dengan menggunakan peralatan yang sederhana. Potensi utama bahan galian tersebut berupa pasir dan batu, bahan galian ini dijumpai di sungai-sungai yang berhilir di Gunung Merbabu dan Gunung Merapi baik yang sudah di tambang ataupun belum. Sumber daya tanah pada daerah penelitian berasal dari produk-produk gunungapi yang telah mengalami proses pelapukan. Pemanfaatan sumberdaya tanah ini pada daerah penelitian kebanyakan dimanfaatkan masyarakat untuk perkebunan tembakau, cabe, wortel, kubis, brokoli, berbagai jenis sayuran dan buah-buahan yang khas pada daerah pegunungan, agrowisata stroberi. Pada daerah penelitian juga terdapat geowisata berupa air terjun kedung kayang, gardu pandang Keteb, pendakian pencinta alam gunung Merbabu dan gunung Merapi.
Bencana geologi yang terjadi pada daerah penelitian berupa longsoran tanah, sedangkan bencana geologi yang diperkirakan berpotensi pada daerah penelitian berupa bahaya gunung api baik dari gunung api Merapi maupun dari gunung api Merbabu, yang berdasarkan data-data lapangan menunjukan bahwa erupsi kedua gunung api tersebut sangat berpotensi, baik itu yang bersifat ekplosif maupun yang bersifat effusif, serta bencana sekunder setelah erupsipun sangat berpotensi terjadi pada daerah penelitian. Berdasarkan pengamatan secara visual kegiatan vulkanisme pada kawah gunung api Merbabu saat penelitian ini dilakukan menunjukan aktifitas normal.
6.    Fasies gunung api Merbabu
Prinsip dasar gunung api adalah adanya magma sebagai sumber material gunung api yang dierupsikan, rekahan yang menghubungkan magma dengan permukaan bumi (yang terbentuk secara tektonika) dan tektonika yang mengontrol pergerakan magma ke permukaan bumi. Tidak semua gunung api harus menunjukan aktifitasnya pada masa kini. Definisi yang jelas terhadap gunung api, memberikan gambaran bahwa yang disebut gunung adalah semua gunung dengan fenomena vulkanisme baik yang berlangsung sekarang maupun pada masa lalu. Artinya, tidak ada batasan waktu terhadap aktifitas gunung api tersebut (Mulyaningsih, 2013). Fenomena yang muncul pada gunung api Merbabu yaitu adanya anomali panasbumi (geothermal anomaly) dengan kenampakan adanya gas sulfatara (yang menyengat), mataair panas dan bekas kubangan lumpur pada kawahnya.
Gunung api Merbabu terbentuk pada tepian konvergen di zona benni off dimana lempeng samudera menunjam di bawah lempeng benua, menghasilkan tipe magma Ca-Alkalin yang lebih asam (K-Alkalin) yang kaya akan unsur mayor Ca dan Mg atau Na dan K. Magma yang dihasilkan tersebut keluar melalui rekahan (yang terbentuk secara tektonik) melewati berbagai proses magmatisme dan keluar hingga kepermukaan secara berulang-ulang (poligenetik), membangun tubuhnya secara berlapis (strato) dan membentuk gugusan gunung api magmatik. Struktur gunung api Merbabu berupa; kawah, rekahan dan graben G. Merbabu, depresi vulkano-tektonik. Gunung api Merbabu memiliki bentuk kerucut yang kurang sempurna, ini dikarenakan aktifitas vulkanisme yang bersifat membangun lebih kecil dibandingkan dengan aktifitas erosi dan pelapukan yang terjadi pada Gunung api ini.Menurut klasifikasi gunung api di Indonesia, gunung api Merbabu belum bisa ditentukan secara pasti, ini dikarenakan referensi waktu atau tahun aktifitas erupsi pada masa lampau masih simpang siur kebenarannya.
Fasies gunung api dapat dipahami dari proses-proses atau mekanisme erupsi, produk dari erupsi gunung api dan bentang alam yang dihasilkan oleh erupsi gunung api, termasuk aspek-aspek fisik dari produk erupsi, stratigrafi dan rekonstruksi lingkungan purba (paleoenvironment), serta evolusi tektonisme yang mengontrolnya. Fasies sendiri adalah suatu endapan atau satuan erupsi atau kedua-duanya yang mempunyai hubungan spasial, geometrik, dan ciri internal (Mulyaningsih, 2013).
Pengelompokan fasies gunung api pada daerah penelitian ini berdasarkan data-data lapangan berupa karakteristik litologi, asosiasi litologi, letaknya dari sumber erupsi, bentang alam yang dihasilkan oleh erupsi gunung api, termasuk aspek-aspek fisik dari produk erupsi, stratigrafinya, interpretasi peta geologi, peta geomorfologi berikut pola aliran, kerapatan nilai dan ketinggian kontur, interpretasi struktur geologi, petrologi berikut analisis petrografi batuaannya. Dari data-data tersebut dilakukan pendekatan konsep yang dikembangkan oleh Bogie and Mackenzie, (1998) tentang pembagian fasies gunung api berdasarkan posisi relatif terhadap sumber erupsi pada gunungapi komposit.

Berdasarkan pengamatan dan analisis melalui pendekatan-pendekatan tersebut maka fasies gunung api pada daerah penelitian dapat terbagi menjadi 3, yaitu; fasies sentral (FS), fasies proksimal (FP), dan fasies proksimal Merapi. Dari data-data dan analisis fasies tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada Daerah Lencoh, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah termasuk ke dalam fasies proksimal gunung api Merbabu.

DAFTAR PUSTAKA
Almor, J. F., 2012, Geologi dan Fasies Gunungapi Daerah Sangiran dan Sekitarnya Kabupaten Sragen Propinsi Jawa Tengah, Tugas Akhir Tipe 1, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, IST AKPRIND, Yogyakarta.
Alzwar, Muzil., Samodra, Hanang., Carigan, Jonatan J., 1988, Pengantar Dasar Ilmu Gunungapi, Nova, Bandung.
Asikin, S., 1974, Evolusi Geologi Jateng dan Sekitarnya Ditinjau dari Segi Tektonik Dunia yang Baru, Bandung.
Bakosurtanal, 2001, Peta Rupa Bumi Lembar Ngablak (1408-522)
Bemmelen, R.W. Van, 1949. The Geology of Indonesia, vol IA Ed. II. The Netherlands: the Government Printing Office, The Haque Martinus Nijhroff.
Bemmelen, R.W., Van, 1970, The Geology of Indonesia, Vol 1.A, The Haque, Martinus Nijhoff, Nedherlands.
Bogie, I. And K. M. MacKenzie, 1998, The Application of a Volcanic Fasies Model to an Andesitic Stratovolcano Hosted Geothermal System At Wayang Windu, Java, Indonesia, Proceedings of The New Zealand Workshop, Auckland, 265-270.
Bronto, S., 2003, Gunung Api Tersier Jawa Barat; Identifikasi dan implikasinya, Majalah Geologi Indonesia, Vol. 18, No. 2, Yogyakarta
Bronto, S., 2004, Deskripsi dan Penamaan Batuan Gunungapi, Bahan Kuliah.
Bronto, S., 2006, Fasies Gunungapi dan Aplikasinya, Bahan Kuliah Tamu di Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik UGM.
Bronto, S., 2006, Identifikasi Fosil Gunung Api, Bahan Kuliah Tamu di Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral IST AKPRIND Yogyakarta.
Bronto, S., 2007, Gunung Api Tua, Pendekatan Inderaja dan Geomorfologi, Bahan Kuliah Tamu di Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral IST AKPRIND Yogyakarta 151.
Cas, R. A. F. And J. V. Wright, 1987, Volcanic Successions: Modern and Ancient, 2nd Edition, Unwin Hyman, London, 3-123. Creasey, S. C., 1966, Hydrothermal Alteration, Director of The U.S. Geological Survey. Economic Geology, tidak dipublikasikan.
Energi Sumber Daya Mineral. 2005. Pengenalan Gerakan Tanah, Vulcanological           Survey of Indonesia. Energi Sumber Daya Mineral. Jakarta.
Fandeli, C. dalam Zakaria,  Z..  2000.  Analisis Lereng.  UNPAD.  Bandung.
Fisher, R.V. dan Schmincke, H.U., 1984. Pyroclastic Rocks. Springer-Verlag, Berlin, 472 h.
Fisher, R. V. dan Smith, G. A., 1991. Volcanism, Tectonics and Sedimentation; Sedimentation In Volcanic Settings. Dalam: Fisher, R. V. dan Smith, G. A., (Eds.), SEPM Special Edition, (45), Tusla, Oklahoma, USA, h.1-5.
Hamilton, W., 1979, Tectonics of The Indonesian Region, Geological Survey Proffesional paper 1078, in corporation with the Geological Survey of Indonesia, The Australia Bureau of Mineral Resources, 345.
MacDonald, A.D., 1972, Volcanoes, Prentice-Hall, Inc., USA, 66-197.
Mark, P., 1957, Stratigrafi Lexicon of Indonesia, Publikasi Keilmuan No. 31, Pusat Jawatan Geologi Bandung.
McPhie, J., M. Doyle and R. Allen, 1993, Volcanic Texture, Centre for Ore Deposit and Exploration Studies, University of Tasmania, Hobart, 196.
Mulyaningsih, S., dkk, 2006, Perkembangan Geologi pada Kuarter Awal sampai Masa Sejarah di Dataran Yogyakarta, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 2 Juni 2006: 103-113.
Mulyaningsih, S, 2013, Vulkanologi, AKPRIND PRESS, Yogyakarta.
Pettijohn, F, J., 1975, Sedimentary Rocks, Harpercollins, USA.
Robert E. Thaden, dkk. (1975), Membuat Peta Geologi Lembar Magelang dan Semarang, Jawa. Direktorat Geologi, Bandung
Simkin, T., Siebert, L., McClelland, L., Bridge, D., Newhall, C., Latter, J.H. 1981. Volcanoes of the World: A Regional Directory, Gazetteer, and Chronology of Volcanism During the Last 10,000 Years. Stroudsburg, Penn: Hutchinson Ross. 240 hal.
White, N. C., 1996, Hydrothermal Alteration in Porphyry Copper System, BHP Mineral International Inc, tidak dipublikasikan, 20-25.
Williams, H. And A. R. McBirney, 1979, Volcanology, Freeman, Cooper: San Fransisco, 135-142.
http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Peta_administratif_jawa_tengah.gif, 2006






Thursday, March 3, 2016

BAB VIII
KESIMPULAN




Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian di lapangan serta analisis laboratorium, maka dapat disimpulkan mengenai kondisi geologi daerah gunung api Merbabu yang mencakup Daerah Lencoh dan sekitarnya. yaitu:
1.        Geomorfologi daerah penelitian terbagi menjadi 3 satuan geomorfologi, yaitu: sautan fasies sentral (FS), satuan fasies proksimal (FP), satuan fasies proksimal Merapi (FPM). Stadia sungai di daerah penelitian berupa stadia muda dengan stadia daerah muda. Pola aliran daerah penelitian yaitu radial dan paralel.
2.        Satuan litologi pada daerah penelitian terbagi menjadi 4 satuan tidak resmi, yaitu: satuan intrusi andesit (Ia), satuan lava blocky basalt (Lbb), satuan lava andesit Merapi (Lam), satuan lava basalt (Lb) dan satuan lava andesit (La).
3.        Struktur geologi daerah penelitian melingkupi struktur kekar, struktur sesar; sesar turun Pregadalem, sesar turun Ngadirejo, sesar turun Mangu, sesar mendatar Banyuroto, sesar turun Selo, sesar turun Patran, dan sesar Merbabu-Watutulis.
4.        Fasies gunungapi pada daerah penelitian terbagi menjadi 3, yaitu; fasies sentral, fasies proksimal dan fasies proksimal Merapi.

5.        Bencana alam yang sering terjadi di daerah penelitian adalah longsoran tanah, bahaya gunung api, kebakaran hutan saat musim kemarau, dengan potensi geologi melingkupi tambang batu dan pasir, geowisata, dan permukiman.
BAB II
GEOMORFOLOGI




Geomorfologi adalah salah satu cabang ilmu kebumian yang mempelajari tentang klasifikasi relief bumi, pemerian, dan cara terjadinya untuk mengetahui genesa pembentukannya. Relief bumi itu sendiri adalah ketidakteraturan permukaan bumi, baik dalam ukuran besar maupun kecil. Studi geomorfologi suatu daerah umumnya mempunyai dua tujuan utama, antara lain yang pertama adalah mengelompokkan secara sistematik pemerian bentang alam dalam suatu skema pengelompokan terhadap suatu nama yang diberikan berdasarkan konsep tertentu. Kedua, mengetahui penyimpangan yang terjadi dari pengelompokan guna membuktikan adanya suatu perubahan dalam lingkungan bentang alam yang normal, untuk suatu tujuan dan sasaran yang ingin dicapai studi geomorfologi tersebut.
II. 1. Geomorfologi Regional
Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografi dan berdasarkan kesamaan morfologi serta tektoniknya, daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur dibagi menjadi 7 zona (Gambar 3) yaitu:
1.      Quartenary Volkanoes (Gunung Api Kuarter)
2.      Zona Dataran Aluvium Jawa Utara
3.      Zona Rembang Madura
4.      Bogor, North-Serayu, and Kendeng anticlinorium (Bogor, Serayu Utara dan Antiklinorium Kendeng)
5.      Zona Depresi Randublatung
6.      Dome and ridges in the central depression zone (Dome dan pematang pada depresi pusat)

7.      Zona Pegunungan Selatan


Gambar 3. Peta fisiografi Jawa Tengah dan Jawa Timur
(Modifikasi dari Bemmelen, 1949).

Berdasarkan pembagian fisiografis tersebut, maka daerah daerah penelitian termasuk dalam Zona Quartenary Volcanoes. Pada zona ini terbentuk suatu kompleks gunung api yang memanjang bearah baratlaut-tenggara yaitu rangkaian Gunung Ungaran - Gunung Telomoyo - Gunung Merbabu - Gunung Merapi yang berada pada lingkungan geologi vulkanik kuarter. Produk dari gunung api tersebut berupa batuan piroklastik dan lava dengan komposisi andesit-basaltik.

II. 2. Geomorfologi Daerah Penelitian
Klasifikasi geomorfologi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada pendekatan klasifikasi konsep pembagian fasies gunung api terhadap sumber erupsi berdasarkan posisi relatif pada gunung api komposit, (Bogie and Mackenzie, 1998). Bogie and Mackenzie, 1998, membagi menjadi 4 fasies, berdasarkan posisi relatif terhadap sumber erupsi pada gunung api komposit, yaitu: fasies sentral, fasies proksimal, fasies medial, dan distal (Gambar 4).

Gambar 4. Pembagian fasies gunung api komposit, (Bogie and Mackenzie 1998).

Adapun penjelasan karakteristik litologi yang dijumpai pada modifikasi model fasies gunung api menurut Bronto (2006) yang mengacu ke dalam pembagian fasies gunungapi menurut Bogie and Mackenzie (1998) diatas adalah sebagai berikut:
1.        Siliceus Dome (Kubah Lava)
Kubah lava yang terbentuk dari proses magma yang membeku di dekat atau di atas permukaan sehingga menyumbat magma yang akan keluar ke permukaan. Mempunyai bentuk geometri kubah, dan mempunyai ukuran mineral yang halus kurang dari 1mm.
2.        Vent breccias
Vent breccias yang berbentuk urat-urat. Membeku di dalam permukaan bumi. Magma ini membeku pada rekahan-rekahan yang terbentuk akibat struktur geologi yang terbentuk akibat gravitasi (sesar normal) dan kekar.
3.        Agglomerate (aglomerat)
Aglomerat adalah batuan yang dibentuk oleh konsolidasi material-material dengan kandungannya didominasi oleh bomb gunungapi dimana kandungan 1apilli dan abu kurang dari 25%. Dengan bentuk butir yang membundar, dan berukuran lebih dari 64mm. Aglomerat adalah penamaan batuan piroklastik berdasarkan tektur menurut Fisher & Schminke, (1984), (dapat dilihat pada Tabel 1)
1.        Intrusive (batuan beku intrusi)
Batuan terobosan (batuan beku intrusi) adalah merupakan magma yang menerobos batuan yang sudah terbentuk kemudian magma ini membeku di dalam permukaan bumi dan terdiri dari material silikat (SiO2). Mempunyai ukuran mineral yang kasar yaitu lebih dari 1 mm hingga 5 mm. Termasuk ke dalam jenis batuan beku plutonik. Dengan dijumpai asosiasi kubah lava, vent breccia, aglomerat, dan batuan beku intrusi maka dapat dimasukkan ke dalam modifikasi model fasies gunungapi menurut Bronto, (2006), dari model fasies gunungapi menurut Bogie and Mackinzie (1998) termasuk ke dalam fasies sentral.
2.        Lava
Lava merupakan magma yang membeku di atas permukaan, terdiri dari material silikat (SiO2). Pada saat lava mengalir di permukaan magma membeku relatif cepat sehingga memperlihatkan struktur aliran dan banyak terdapat lubang gas (vasikuler). Mempunyai ukuran mineral yang halus yaitu kurang dari 1 mm. Termasuk ke dalam batuan beku ekstrusi.
3.        Tuff breccias (Breksi piroklastik/breksi vulkanik)
Breksi piroklastik adalah batuan yang tersusun atas aglomerat dan fragmen tuf. Batuan ini terbentuk akibat konsolidasi dari block-block gunung api dan tuf. Berukuran lebih dari 64 mm, dengan bentuk butir yang meruncing, grainsupported (masa dasar yang didukung butiran) dan hubungan antar butir yang terbuka. Breksi Piroklastik adalah penamaan batuan piroklastik berdasarkan tektur menurut Fisher & Schminke, (1984), (dapat dilihat pada Tabel 1).
4.        Lapili tuff (lapili/batupasir vulkanik)
Lapili berasal dari bahasa latin yaitu lapillus, nama untuk hasil erupsi eksplosif gunungapi yang berukuran 2 mm - 64 mm. Selain itu fragmen batuan kadang-kadang terdiri dari mineral-mineral augit, olivin dan plagioklas. Karena ini adalah lapili tuf maka merupakan fragmen lapili pada masa dasar tuf. Lapili adalah penamaan batuan piroklastik berdasarkan tektur menurut Fisher & Schminke, (1984). Dengan dijumpai asosiasi lava, breksi volkanik, batupasir volkanik, maka dapat dimasukkan ke dalam modifikasi model fasies gunungapi menurut Bronto, (2006) dari model fasies gunungapi menurut Bogie and Mackinzie (1998) termasuk ke dalam fasies proksimal, (dapat dilihat pada Tabel 1)
5.        Tuff (Tuf)
Tuf adalah batuan piroklastik yang berukuran 2 mm – 0,06 mm yang dihasilkan oleh pelemparan dari magma akibat erupsi eksplosif. Tuf sudah mengalami konsolidasi, dengan kandungan abu mencapai 75%. Tuf adalah penamaan batuan piroklastik berdasarkan tektur menurut Fisher & Schminke, (1984). Mekanisme pengendapan tuf dipengaruhi oleh gravitasi dan angin. Endapannya disebut endapan piroklastika jatuhan (air fall deposit), (dapat dilihat pada Tabel 1).
6.        Lahar
Lahar adalah material endapan piroklastik yang telah bercampur dengan fluida air. Endapannya dapat berupa breksi laharik, breksi yang dicirikan mempunyai bentuk butir yang meruncing berukuran lebih dari 64 mm, pemilahan buruk, mudsupported (masa dasar didukung lumpur) dengan butiran yang mengambang diatas masa dasar. Mekanisme pengendapan dipengaruhi oleh air sebagai media transportasi dan oleh gravitasi dengan jenis aliran butiran (debris flow). Pada endapan lahar dapat dijumpai struktur normal gradded bedding pada channel. Dengan dijumpai asosiasi tuf dengan lahar, maka dapat dimasukkan ke dalam modifikasi model fasies gunungapi menurut Bronto, (2006) dari model fasies gunungapi menurut Bogie and Mackenzie (1998) termasuk ke dalam fasies medial.
7.        Lacustrine Siltstone (Batulanau hasil endapan danau)
Lacustrine Siltstone adalah batuan sedimen yang berukuran lanau yang merupakan hasil dari endapan danau. Batulanau ini dicirikan batuan yang kaya akan material organik.
8.        Conglomerate (Konglomerat)
Conglomerate adalah batuan sedimen yang berukuran diatas 64 mm, dengan bentuk butir yang membundar, mudsupported (masa dasar didukung lumpur) sehingga butiran mengambang diatas masa dasar.
9.        Interbedded sandstone and tuff
Interbedded sandstone and tuff adalah merupakan jenis batuan sedimen yang berukuran pasir 2 mm – 64 mm yang mengalami perlapisan. Dengan dijumpai asosiasi lacustrine sandstone, konglomerat, dan interbedded sanstone dengan tuf, maka dapat dimasukkan kedalam modifikasi model fasies gunungapi menurut Bronto, (2006) dari model fasies gunungapi menurut Bogie and Mackenzie (1998) termasuk ke dalam fasies distal.
Tabel 1. Klasifikasi Nama Endapan dan Batuan Piroklastik menurut Fisher & Schmincke (1984)

Ukuran Butir
(mm)
Bentuk Butir
Nama Klastika
Nama Endapan Piroklastik
(Berdasrkan Tekstur Batuan)
Belum Terbatukan
Terbatukan
> 64 mm
Membulat
Bom
Tepra Bom
Aglomerat
Runcing
Blok
Tepra Blok
Breksi Piroklastik
64 mm – 2 mm

Lapilus
Tepra Lapili
Batulapili
2 mm – 0, 06 mm

Abu Kasar
Debu Kasar
Tuf Kasar
< 0, 06 mm

Abu Halus
Debu Halus
Tuf Halus

Atas dasar-dasar yang telah disebutkan di atas, maka daerah penelitian dikelompokkan berdasarkan konsep pembagian fasies gunung api terhadap sumber erupsi berdasarkan posisi relatif pada gunung api komposit, (Bogie and Mackenzie, 1998)., yaitu: satuan fasies sentral (FS), satuan fasies proksimal (FP), fasies proksimal Merapi (FPM). Penjelasan mengenai satuan-satuan tersebut akan disampaikan melalui anak subbab berikut ini.
II. 2. 1. Satuan geomorfologi fasies sentral (FS)
Satuan ini tersusun atas intrusi andesit, breksi andesit, argilik hasil dari alterasi hidrothermal. Sehingga dapat dimasukan kedalam fasies sentral dari gunung api Merbabu (Gambar 5) mengacu konsep Bogie and Mackanzie, (1998). Pembentukan daerah ini disebabkan karena proses vulkano-tektonik yang terjadi pada holosen awal atau pleistosen akhir yang dipicu oleh proses naiknya magma yang bersumber dari zona benni off yang muncul kepermukaan melalui rekahan-rekahan yang terbentuk akibat tektonisme dan berlangsung secara poligenetik. Akibat adanya akumulasi magmatik dan vulkanik yang terus berlangsung secara poligenetik maka di daerah ini tumbuh meninggi membangun tubuh gunung api. Ketinggian daerah ini berkisar antara 2650 sampai dengan 3145 meter di atas permukaan laut.
Gambar 5. Satuan geomorfik fasies sentral; (a) puncak G. Watutulis, lensa kamera menghadap ke utara, (b) intrusi andesit, lensa kamera menghadap ke barat, (c) kawah G. Merbabu dan argilik hasil alterasi hidrothermal, lensa kamera menghadap ke selatan. (Penulis, 2015)

Daerah ini merupakan klimaks dari destinasi pendakian bagi pencinta alam khususnya, selain itu daerah ini merupakan zona infiltrasi air hujan dan kawasan hutan lindung. Satuan ini menempati sekitar 5% dari keseluruhan daerah penelitian. 
II. 2. 2. Satuan geomorfologi fasies proksimal (FP)
Satuan ini tersusun atas lava basaltis-andesitis (litologi yang dominan yang mengisi pada lembah-lembah atau sungai-sungai yang berhulu pada gunung Merbabu) lava basaltis-andesitis berstruktur masif, aliran-blocky, skoriaan., lapili tuf yang mayoritas telah terlapukan, breksi vulkanik, breksi andesit, dan material-material gunung api yang tak terbatukan berukuran mulai dari ash-lapili sebagian yang lain telah bercampur dengan tanah. Dari hasil pengamatan tersebut maka pada daerah ini dapat dimasukan kedalam fasies proksimal dari gunung api Merbabu (Gambar 6), berdasarkan konsep Bogie and Mackenzie, (1998). Daerah ini terbentuknya berkaitan erat dengan aktifitas magmatik, vulkanik, dan dipengaruhi pula oleh subsatuan yang berada di atasnya. Ketinggian daerah ini berkisar dari 1000 sampai dengan 2850 meter di atas permukaan laut. Daerah ini merupakan merupakan zona infiltrasi air hujan, kawasan hutan lindung, pemukiman dan area perkebunan masyarakat. Satuan ini menempati sekitar 93,5% dari keseluruhan daerah penelitian.

Gambar 6. Satuan fasies proksimal, lensa menghadap ke utara (Penulis, 2015).

II. 2. 3. Satuan geomorfologi fasies proksimal Merapi (FPM)
Satuan ini tersusun atas lava andesitis-basaltis yang mengisi pada dasar-dasar lembah atau sungai disebelah selatan gunung Merbabu daerah penelitian yang bersumber dari G. Merapi, lapili tuf yang mayoritas telah terlapukan, breksi vulkanik, dan material vulkanik yang tak terelaskan. Dari hasil pengamatan tersebut maka pada daerah ini dapat dimasukan kedalam fasies proksimal dari gunung api Merapi (Gambar 7) berdasarkan konsep Bogie and Mackenzie, (1998). Pembentukan daerah ini disebabkan oleh aktifitas vulkanisme gunung Merapi dan gunung Merbabu yang dipicu oleh rangkaian tatanan tektonik yang menyebabkan pola kelurusan vulkano-tektonik. Daerah ini dimanfaatkan sebagai warga untuk lahan pemukiman, perkebunan, pertambangan bahan galian golongan C. Satuan ini menempati sekitar 1,5% dari keseluruhan daerah penelitian.

Gambar 7. Fasies proksimal Merapi, lensa kamera semua menghadap ke timur. (Penulis, 2015).

II. 3. Pola Aliran Daerah Penelitian
Howard (1967) menyebutkan bahwa pola aliran erat hubungannya dengan kelerengan, resistensi batuan, kontrol struktur, proses geologi muda, sejarah geologi suatu daerah, berdasarkan faktor tersebut, maka dibuatlah klasifikasi pola aliran ke dalam pola dasar beserta perubahan dan perkembangannya. Yang dimaksud dengan pola aliran di sini tidak hanya pola sungainya saja, tetapi tecakup pula lembah–lembah takberair yang berhubungan dengan pola aliran daerah penelitian.
Oleh tingkat resistensi batuan, struktur geologi, dan proses yang langsung di daerah tersebut. Howard (1967), membuat klasifikasi pola pengaliran menjadi 2 macam, yaitu:
1. Pola dasar (basic pattern): merupakan sebuah pola aliran yang mempunyai karakteristik yang khas yang dapat secara jelas dapat dibedakan dengan pola aliran lainnya. Pola dasar ini umumnya berasal dari perkembangan pola dasar yang lain dan kebanyakan dikontrol oleh struktur regional (Gambar 8).

Gambar 8. Klasifikasi pola aliran sungai yang belum mengalami perubahan
                (basic pattern) (Howard, 1967)

2.        Pola ubahan (modified basic pattern) merupakan sebuah pola pengaliran yang berbeda dari bentuk pola dasar dalam beberapa aspek regional. Pola ubahan biasanya merupakan ubahan dari salah satu pola dasar (Gambar 9).

Gambar 8. Klasifikasi pola aliran sungai yang belum mengalami perubahan
                (basic pattern) (Howard, 1967)

Beberapa pola aliran dasar yang mengacu pada pola pengaliran dasar dan ubahan dari Howard (1967), sebagai berikut:
(1).   Dendritik, berbentuk serupa cabang-cabang pohon dan cabang-cabang sungai (anak sungai) berhubungan dengan sungai induk membentuk sudut-sudut yang runcing. Biasanya terbentuk pada batuan yang homogen dengan sedikit atau tanpa pengendalian struktur, maupun dikontrol oleh struktur baik lipatan maupun sesar. Contoh: pada batuan beku atau lapisan horisontal.
(2).   Paralel, pola aliran yang mempunyai arah relatif sejajar, mengalir pada daerah dengan kemiringan lereng sedang sampai curam, dapat pula pada daerah dengan morfologi yang paralel dan memanjang. Pola ini mempunyai kecenderungan berkembang ke arah dendritik atau trellis. Contoh: Pada lereng-lereng gunungapi atau sayap antiklin.
(3).   Trellis, menyerupai bentuk tangga dan sungai-sungai sekunder (cabang sungai) membentuk sudut siku-siku dengan sungai utama, mencirikan daerah pegunungan lipatan (antiklin, sinklin) dan kekar.
(4).   Rectangular, pola aliran yang dibentuk oleh pencabangan sungai-sungai yang membentuk sudut siku-siku, lebih banyak dikontrol oleh faktor kekar-kekar yang saling berpotongan dan juga sesar.
(5).   Radial, pola ini dicirikan oleh suatu jaringan yang memancar keluar dari satu titik pusat, biasanya mencirikan daerah gunungapi atau kubah.
(6).   Annular, bentuknya melingkar mengikuti batuan lunak suatu kubah yang tererosi puncaknya atau struktur basin dan mungkin intrusi stock, bertipe subsekuen, cabangnya dapat obsekuen atau resekuen.
(7).   Multibasinal, pola yang terbentuk oleh banyaknya cekungan-cekungan atau danau-danau kecil, biasanya terbentuk pada daerah rawa atau karst topografi.
Contorted, merupakan pola yang berbentuk tidak beraturan, kadang terlihat ada pola trellis. Biasanya berkembang di daerah metamorf yang bertekstur kasar, batuan beku atau pada batuan berlapis yang memiliki resistensi yang sama.
Melalui pendekatan klasifikasi tersebut di atas, maka pola pengaliran di daerah penelitian termasuk dalam jenis pola aliran paralel dan radial (Gambar 10).

Gambar 10. Pola pengaliran di daerah penelitian (Penulis, 2015).


1.        Pola pengaliran palarel merupakan pola aliran yang mempunyai arah relatif sejajar, pada daerah penelitian pola ini berkembang di sebelah selatan daerah penelitian mulai dari lereng puncak G. Merbabu sampai kaki G. Merbabu.
2.        Pola pengaliran radial merupakan pola aliran yang sangat khas yang berkembang pada suatu gunungapi, dicirikan oleh suatu jaringan yang memancar keluar dari satu titik pusat (puncak G. Merbabu), pola ini berkembang mencakup di sebagian besar daerah penelitian.

II. 4. Stadia Daerah Penelitian
Pada dasarnya stadia daerah merupakan gambaran bagaimana suatu bentuk morfologi telah berubah dari bentuk morfologi aslinya. Tingkat kedewasaan suatu daerah dapat ditentukan dengan melihat keadaan bentang alam dan stadia sungai yang terdapat di daerah tersebut. Pembentukan morfologi suatu daerah biasanya dikontrol oleh beberapa faktor seperti struktur geologi, litologi, dan proses geomorfologi, baik berupa proses endogen maupun eksogen.
Proses erosi bekerja pada saat dan setelah terjadinya pengangkatan suatu daerah dan secara terus-menerus akan sampai pada proses pendataran. Kenampakan morfologi saat ini merupakan hasil proses-proses endogen dan eksogen yang bekerja, terutama proses eksogen yang berhubungan langsung dengan proses erosi. Proses erosi juga dapat digunakan untuk mengetahui bentuk sungai dan tingkat erosi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat erosi sungai adalah tingkat resistensi batuan terhadap pelapukan dan erosi, kemiringan lereng, iklim (curah hujan), tingkat ketebalan vegetasi, aktivitas organisme (terutama manusia), waktu (lamanya proses erosi yang bekerja), dan permebilitas batuan.
Perkembangan stadia geomorfologi erat kaitannya dengan tingkat erosi di mana semakin tinggi tingkat erosinya maka akan memberikan kenampakan pada bentuk lahan menuju stadia geomorfologi tua. Lobeck (1939), mengelompokkan stadia daerah menjadi 4 (Gambar 11), yaitu:
1.        Stadia muda
Stadia ini dicirikan oleh gradien sungai besar, arus sungai deras, lembah berbentuk “V”, erosi vertikal lebih besar dari pada erosi lateral, dijumpai air terjun, kadang-kadang terdapat danau, keadaan permukaan yang masih rata, pada umumnya sedikit sekali penelanjangan sungai serta susunan stratigrafinya relatif teratur serta lembahnya sempit dan dangkal. 

Gambar 11. Stadia daerah sebagai model pedekatan penentuan stadia sungai di daerah  penelitian (Lobeck, 1939)


1.        Stadia dewasa
Stadia ini dicirikan oleh gradien sungai sedang, aliran sungai agak berkelok-kelok atau meander, tidak dijumpai air terjun maupun danau, erosi vertikal berimbang dengan erosi lateral, lembahnya sudah mulai berbentuk “U”, lembah yang besar dan dalam, reliefnya relatif curam, stratigrafinya sudah agak kacau serta proses erosi yang dominan.
2.        Stadia tua
Stadia ini dicirikan oleh erosi lateral lebih kuat daripada vertikal, lembah lebar, tidak dijumpai meander lagi karena kelokan sungainya telah tersambung dan terbentuk danau tapal kuda, arus sungai tidak kuat. Kelanjutan dari proses-proses yang bekerja pada stadia dewasa yaitu keadaan permukaan semakin rendah, reliefnya relatif datar serta lembah sungai lebar dan dangkal.
3.        Stadia rejuvinasi (muda kembali)
Stadia ini dicirikan oleh perkembangan permukaan yang relatif datar kembali dan terlihat adanya perajangan-perajangan sungai kembali.
Atas dasar pengelompokan stadia daerah berdasarkan Lobeck (1939), maka dapat di interpretasikan bahwa stadia daerah pada daerah penelitian berupa stadia muda (Gambar 12). Ini dibuktikan pada daerah telitian kebanyakan memiliki gradien sungai besar, lembah berbentuk “V”, erosi vertikal lebih besar dari pada erosi lateral, terdapat air terjun, pada umumnya sedikit sekali penelanjangan sungai serta lembahnya sempit dan memiliki tebing-tebing yang curam.

Gambar 12. Penampang sungai berbentuk huruf “V” dengan lensa kamera menghadap ke timur (Gambar atas) dan terdapat air terjun pada daerah penelitian dengan lensa menghadap ke utara (Gambar bawah). (Penulis, 2015).